Regenerasi dan revitalisasi Gerakan Pramuka saat ini nampaknya membentur tembok oligarki. Organisasi yang berurat berakar dari tingkat nasional sampai di desa-desa ini tidak lepas dari kepentingan politik praktis. Menurut UU Gerakan Pramuka, organisasi ini merupakan satu-satunya yang diberi amanat oleh negara untuk melakukan pembinaan karakter.
Lalu di mana korelasi antara oligarki, politik praktis dan Gerakan Pramuka?
Sebagai aktivis dan pengamat Gerakan Pramuka yang mengalami pasang surut di Gerakan Pramuka tentunya penulis berharap banyak akan adanya program revitalisasi yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY.
Regenerasi dan revitalisasi organisasi Gerakan Pramuka terutama di daerah (provinsi) dan cabang (kabupaten/kota) nampak terhambat oleh pegiat Pramuka itu sendiri. Tentunya tidak lepas dari pameo yang selama ini berlaku “kemudahan anggaran”.
Ketika diadakan musyawarah daerah atau pun musyawarah cabang kebanyakan kwartir di bawahnya tidak berani memunculkan figur yang berasal dari kalangan Pramuka itu sendiri. Tetapi lebih memprioritaskan wakil gubernur atau istri gubernur, atau bisa juga wakil bupati/walikota maupun istri bupati/walikota sebagai ketua kwartirnya, ditambah dengan tidak sedikitnya pejabat negara setingkat sekretaris daerah.
Banyak potensi pegiat dan aktivis Pramuka di daerah yang tenggelam kalah sebelum bertanding. Tergerus pengaruh kekuasaan.
Gerakan Pramuka merupakan satu organisasi yang dipandang seksi oleh para penganut paham politik praktis untuk menaikan pamor dan elektabilitas. Menjadi ketua kwartir tentunya akan dikenal oleh generasi milenial yang merupakan potensi besar suara para pemilih pemula. Sayangnya, banyak pegiat Pramuka yang tidak menyadari akan hal ini bahkan tutup mata. Pada ujungnya akan terjadi pengambilan manfaat dan saling memanfaatkan oleh mereka yang memang bertujuan demikian sejak awal.
Saat ini begitu banyak kegiatan peserta didik Pramuka yang harusnya berjenjang menjadi tumpang tindih. Zaman dulu Pramuka yang terpilih mengikuti even nasional adalah mereka yang benar-benar berprestasi. Tetapi saat ini kesempatan itu lebih banyak didapatkan oleh mereka-mereka yang berduit dan dekat dengan pejabat kwartir.
Contoh kecil adalah pelaksanaan jambore atau raimuna yang biasanya berjenjang dari tingkat ranting, cabang, daerah, dan nasional. Pada faktanya agenda nasional bisa saja lebih dahulu daripada yang di daerah. Sehingga proses berjenjang seleksi itu tidak terlaksana. Hal ini tentunya menggugurkan peserta didik yang mampu dalam hal ilmu dan keterampilan tetapi tidak mampu dalam hal finansial.
Belum lagi jika ada kegiatan internasional, justru menjadi ajang kegiatan berbayar, siapa yang kuat finansial dia yang berangkat sebagai wakil Indonesia.
Kapan peserta didik berprestasi punya kesempatan mencicipi giat internasional jika prosesnya demikian. Yah kecuali situ ada orang dalam.
Kembali ke persoalan oligarki kekuasaan yang terjadi di tubuh Gerakan Pramuka yang banyak mengusulkan dan mengangkat pejabat atau istri pejabat sebagai ketua kwartir. Meski pada dasarnya tidak ada larangan dalam hal ini hanya terkadang etika organisasi menjadi runyam. Kita hendaknya tidak menutup mata dan telinga akan hal ini, hampir semua ketua kwartir akan membawa gerbong pendukungnya sebagai pengurus/andalan kwartir. Jarang terjadi yang namanya rekonsiliasi kubu, kecuali ada deal-deal di belakang layar.
Dengan menguasai gerbong organisasi tentunya kebijakan yang diambil sedikit banyak akan berpihak. Di sinilah terjadi bergugurannya pegiat dan aktivis Pramuka yang kritis dalam menyikapi organisasi, terpinggirkan. Mereka terbuang dan akhirnya menjadi barisan sakit hati yang akan merongrong organisasi dari luar.
Belum lagi gerbong dalam yang sudah dipastikan tidak solid karena ada deal-deal sebelumnya.
Politik praktis dan oligarki organisasi akan memakan korban, dan korban sebenarnya adalah anggota Gerakan Pramuka itu sendiri.
Satu pertanyaan tersisa, kapan dan siapa yang berani mengusulkan Istri presiden sebagai Kakwarnas periode mendatang?
Kalau tak ada yang berani ya sudah saya aja yang usul demikian. Bagaimana Bu eh Kak Iriana Joko Widodo?