Sumedang – Cultural Performing dalam kegiatan Raida sukses digelar dengan menampilkan rangkaian kesenian tradisional yang memukau, memperkenalkan keragaman budaya dari berbagai daerah di Indonesia. Berbagai penampilan mulai dari tari, musik, hingga drama sejarah menghidupkan panggung acara yang berlangsung meriah di Lapangaan utama Kiara Payung, Jatinangor Sumedang (18/9/2024).
Penampilan pertama berasal dari Bekasi, yang menyuguhkan tarian khas Betawi lengkap dengan berbalas pantun, memeriahkan suasana. Tradisi Palang Pintu, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari adat Betawi, turut ditampilkan. Tradisi ini merepresentasikan upaya pengantin pria yang harus melumpuhkan jagoan kampung untuk meminang mempelai wanita, sebagai simbol keseriusan membina rumah tangga. Selain menjadi lambang pembukaan pintu pernikahan, Palang Pintu menunjukkan ketaatan masyarakat Betawi terhadap norma adat. (Kompas, 2022).
Kemudian, panggung berlanjut dengan penampilan dari Cimahi yang menyuguhkan sebuah drama bertemakan peristiwa sejarah kelam G30S/PKI. Drama ini menggambarkan perjuangan para pahlawan yang gugur dalam tragedi yang terjadi pada 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi momen penting dalam sejarah Indonesia ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha mengubah ideologi negara, mengakibatkan kematian sejumlah perwira tinggi TNI AD yang dianugerahi gelar pahlawan revolusi. Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen S. Parman, dan perwira lainnya dikenang atas jasa mereka. Drama ini dipentaskan dengan apik, mengajak penonton untuk mengingat kembali perjuangan para pahlawan bangsa. (RRI, 2023)
Selanjutnya, dari Kabupaten Tasikmalaya hadir tarian ikonik Payung Geulis yang dipadukan dengan musik Marawis. Inovasi ini dimulai oleh kelompok Marawis Cintapada Tasikmalaya (MARCITAS) pada tahun 2005 atas inisiatif Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tasikmalaya. Tarian yang biasanya diiringi gamelan ini kini tampil dengan warna baru berkat perpaduan dengan Marawis. Payung Geulis, sebagai ikon Tasikmalaya, turut digunakan sebagai media untuk memperkenalkan kerajinan dan budaya kota tersebut kepada wisatawan. (Dewi Nurfitriana, 2015).
Dari Bekasi kembali hadir penampilan yang memukau dengan Tarian Sisingaan, sebuah tradisi dari Kabupaten Subang. Tarian ini berawal dari ritual khitanan, di mana anak yang akan dikhitan diarak keliling kampung di atas jampana, sebuah kursi yang dihias. Empat orang dewasa mengusung jampana, dengan iringan musik tradisional seperti dog-dog, kendang, dan kempul. Gerakannya bersifat spontan dan sederhana, mencerminkan kesederhanaan masyarakat pada masa itu. (Pemerintah Daerah Kab Subang, 2018)
Kota Cirebon menampilkan Ronggeng Bugis dan tarian Batik Mega Mendung yang menjadi ikon daerah tersebut. Ronggeng Bugis, sebuah tarian yang diciptakan pada masa Kerajaan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati, dimainkan oleh laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Tari ini awalnya digunakan untuk menyamar dalam kegiatan intelijen melawan musuh. Nama “Bugis” merujuk pada suku Bugis yang dulunya menjadi bagian dari pasukan intelijen Cirebon. (Dahlan, 2022)
Dari Kabupaten Bandung, tampil Multikultural Dance yang memadukan unsur budaya dari berbagai etnis dan suku di Indonesia. Pertunjukan ini berhasil menggabungkan elemen-elemen seni tari tradisional dalam satu penampilan yang indah, merepresentasikan kekayaan budaya nasional yang beraneka ragam.
Sebagai penutup, festival ditutup dengan penampilan drama dari Kuningan berjudul “Wonderful Kuningan”, yang menceritakan keindahan dan sejarah kota tersebut, mengajak penonton untuk mengenal lebih dalam budaya dan pesona wisata Kuningan.
Festival ini tidak hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga sebagai media pelestarian budaya serta sarana promosi pariwisata dari berbagai daerah di Indonesia.