Sayap kekuasaannya membentang dari Afrika hingga Indonesia. Berlari dengan semangat setengah merampok pedagang. Dibenci dan dipuji secara bersamaan.
Dari seluruh wilayah operasi VOC, wilayah Hindia Timur memiliki cakupan terHiluas dan menjadi wilayah terpenting di Asia. Oleh karena itu, menurut Femme Gaastra, semua kantor VOC di Asia (dan Tanjung Harapan) tunduk pada Gubernur Jenderal VOC di Batavia.
Perang antara VOC dan Kesultanan Banten, 1682
Cengkeraman kekuasaan VOC mulai perlahan. Diawali dengan perdagangan, berakhir dengan campur tangan politik dalam konflik-konflik yang terjadi di tubuh kerajaan.
“Biasanya mereka datang untuk berdagang. Namun, mereka kerap diajak terlibat membela salah satu pihak yang bertikai memperebutkan kekuasaan di kerajaan. Dari situ mereka mendapatkan konsesi daerah,” kata Mona.
Kekacauan antara Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dan Sultan Haji adalah contoh terbaik bagaimana VOC berhasil memanfaatkan konflik ayah dan anak itu. Banten lambat laun melemah seiring meluasnya pengaruh VOC dalam tubuh keluarga kesultanan yang terlibat konflik.
Namun, kisah hubungan VOC dengan kerajaan tidak selalu abu-abu. Di Kesultanan Buton, Kompeni mendapat tempat di hati para sultan dan pejabat kesultanan lainnya. Dari catatan Syekh Haji Abdul Ganiu, seorang ulama terkemuka dari Buton yang hidup pada abad ke-18, Nasehat Leluhur terjemahan La Niampe untuk Masyarakat Buton-Muna mengharapkan aliansi yang mengikat antara Kesultanan Buton dan VOC (kemudian Pemerintah Belanda) yang dibuat pada 5 Januari 1613 dapat dipertahankan.
“Wahai Sultan yang memegang kekuasaan, tegaskan perjanjian dengan Belanda. Jika perjanjian dengan Belanda lemah, itu akan berbentuk dua hal, pertama, kita akan di bawah sumpah, kedua, besok mengubah dolango (pelindung kerajaan). Sultan dan rakyat mencapai kesepakatan dengan Bone, dalam sekejap mata besok kita akan tenggelam,” tulis Syekh Haji Abdul Ganiu.
Bagikan Perdagangan dengan Perompak
Menurut sejarawan Sri Margana, setiap awak VOC yang hendak berlayar ke nusantara siap mati di tengah jalan. “Biasanya dari 300 ABK yang berangkat, 100 pulang sudah baik. Pekerjaannya berat. Selama 3,5 bulan perjalanan ke Hindia Timur, banyak yang sakit dan meninggal,” katanya.
Menurut alumnus doktoral Universitas Leiden itu, di setiap kapal VOC selalu ada empat kategori profesi yang ikut berlayar. Mereka adalah para pedagang (koopman), tentara bayaran, pendeta dan kelompok terakhir terdiri dari kartografer, dokter dan ilmuwan.
Meski dikenang sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia, VOC juga meninggalkan kisah kelamnya sendiri. Menurut Sri Margana, tidak semua pegawai VOC yang dikirim ke Hindia Belanda berakhlak baik. “Orang-orang yang bekerja di VOC adalah pengangguran, penjahat dan memiliki reputasi buruk,” katanya.
Tidak semua orang Belanda memuji VOC pada saat kemitraan dagang sedang berkibar. Pieter de la Court seorang pengusaha dari Leiden yang hidup pada abad ke-15 dalam buku Aanwijzing der heilzame politieke gronden en maximum van de Republieke van Holland ende West-Vriesland (Petunjuk tentang dasar-dasar dan proposisi politik yang berguna dari Republik Holland dan Friesland) menulis bahwa VOC mengirim “orang yang lalai, malas, boros, dan jahat untuk berlayar ke Kepulauan Hindia”.
Bahkan, katanya, “orang Belanda yang berbakat, hemat, rajin bisa menjadi penjajah terbaik di dunia.” Tetapi dalam masalah VOC, Pieter lebih terkejut lagi bahwa ada orang Belanda yang cerdas, hemat, dan rajin yang bersedia masuk ke dalam “pelayanan perbudakan seperti itu, kecuali dalam kebutuhan yang sangat mendesak”.
Discussion about this post