Tasikmalaya adalah salah satu nama daerah di Provinsi Jawa Barat. Banyak sekali sebutan untuk Kota yang istimewa ini, Kota Resik, Kota Santri, Mutiara Priangan Timur, Delhi Van Java dan sebutan lainnya.
Sebutan-sebutan yang diberikan merupakan salah satu ciri yang mencerminkan kebudayaan Tasikmalaya. Lahirnya sebutan-sebutan tersebut, berawal dari nama Tasikmalaya sendiri yang memiliki sejarah yang cukup panjang yang harus diketahui.
Kerajaan Galuh penguasa pemerintahan kebarataan
Pada abad ke-7 hingga abad ke-12, wilayah yang saat ini dikenal dengan nama Tasikmalaya, terdapat suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahan berada di sekitar Galunggung.
Pemerintahan Kebataraan dikuasai oleh raja-raja yang berasal dari Kerajaan Galuh. Pada masa itu, seorang raja baru dianggap sah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Jadi, Batara merupakan jabatan tertinggi di Tasikmalaya pada masa itu.
Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa itu yakni Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Namun pada masa Batara Hyang, bentuk pemerintahan mengalami perubahan yang awalnya kebataraan, berubah menjadi kerajaan.
Batari Hyang raja galunggung pertama
Kerajaan Galunggung mulai berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka, atau 21 Agustus 1111. Penguasa pertama Kerajaan Galunggung adalah Batari Hyang. Hal itu didasarkan pada penemuan Prasasti Geger Hanjuang di Desa Linggawangi Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Prasasti ini sebagai bukti otentik dari adanya Kerajaan Galunggung.
Prasasti berupa batu hitam bertuliskan Sunda itu ditemukan K.F Holle pada tahun 1877. Prasasti Geger Hanjuang yang mempunyai ukuran tinggi 80 cm dan lebar 60 cm itu berisi bahasa Sunda kuno yang berbunyi tra ba i guna apuy na sta gomati sakakala ru mata k disusu(k) ku batari hyang pun. Artinya pada tahun1033 (Saka) (ibukota) Ruma(n) tak diperkuat (pertahanannya) oleh Batari Hyang.
Sang Batari memberikan ajaran yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakandang Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada zaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.
Kekuasaan Sri Gading Anteg
Selanjutnya, pemerintahan berada di Sukakerta dengan ibu kota di Dayeuh Tengah (sekarang wilayah Salopa) yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sezaman dengan Prabu Siliwangi.
Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sezaman dengan Prabu Surawisesa 1521-1535 M Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.
Piagam Sultan Agung Mataram
Setelah melalui perkembangan dari masa ke masa, pembentukan Kabupaten Tasikmalaya tidak terlepas dari piagam Sultan Agung Mataram. Piagam itu dikeluarkan akibat dari penahanan Wedana Priangan Pengeran Dipati Rangga Gede oleh Mataram. Jabatan itu diberikan oleh Sultan Agung Mataram kepada Dipati ukur, namun dengan syarat harus merebut wilayah Batavia dari pasukan VOC.
Berdasar informasi yang disampaikan Peneliti Sejarah Kabupaten Tasikmalaya, Muhajir Salam, pada tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur membantu pasukan mataram untuk merebut Batavia. Namun, usahanya gagal. Akhirnya, Dipati Ukur dan pasukannya membangkang terhadap mataram, karena menyadari bahwa kegagalan pasti akan diganjar hukuman.
Ki Warawangsa, Tumenggung Wiradadaha Bupati Sukapura
Karena Dipati Ukur dan pasukannya tidak juga menampakkan batang hidungnya, maka Sultan Agung Mataram meminta kepada beberapa penguasa priangan untuk mencari dan menangkap Dipati Ukur. Atas prestasinya menangkap Dipati Ukur, Ki Wirawangsa yang merupakan penguasa Umbur Sukakerta sebagai bagian dari Kerajaan Mataram diangkat menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Pengukuhan ki Wirawangsa juga dimaknai sebagai awal pembebasan Sukapura dari pengaruh Mataram. Saat itu, mataram memungut upeti. Namun, sejak itu Bupati Sukapura dibebaskan dari kewajiban upeti.
Masa kepemimpinan Raden Jaya Manggala
Setelah pengangkatan Ki Wirawangsa sebagai Bupati, Ibukota Sukapura yang awalnya di Dayeuh Tengah yang sekarang masuk Kecamatan Salopa berpindah ke Leuwi loa atau Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja.
Setelah Ki Wirawangsa atau Wiradadaha I wafat, diganti oleh putranya Raden Jaya Manggala. Periode Perpindahan Ibukota dari Sukapura ke Manonjaya terjadi karena kekuasaan Sukapura cukup luas membentang dari sebagaian wilayah Kabupaten Garut hingga Kabupaten Pangandaran saat ini. Perpindahan itu terjadi pada kekuasaan Wiradadaha VIII.
Wiradadaha XI sukses membangun Manonjaya
Setelah Wiradadaha VIII wafat, kemudian kekuasaan digantikan oleh adiknya R.T Danuningrat dengan gelar Wiradadaha XI dan berhasil membangun Kota Manonjaya. Manonjaya menjadi Ibu Kota berlangsung selama tiga periode, yakni pada masa kepemimpinan Raden Rangga Wiradimanggala atau Bupati Sukapura X, Raden Wiraadegdaha atau Bupati Sukapura XI, dan R.T Wirahadiningrat atau Bupati Sukapura XII.
Perubahan Sukapura Menjadi Tasikmalaya
Pada masa pemerintahan Raden Rangga Wiratanuwangsa atau R.T Prawiraadiningrat atau Bupati Sukapura XII yang memerintah tahun 1901-1908, Ibu Kota Berpindah dari Manonjaya ke Sukapura pada tanggal 1 Oktober 1901. Kemudian, nama Kabupaten Sukapura berubah menjadi Kabupaten Tasikmalaya pada masa pemerintahan R.T Wiratanuningrat, pada 1 Januari 1913.
R.T Wiratanuningrat diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi Bupati Tasikmalaya pertama sesuai perubahan nama. Ia memimpin hingga tahun 1937.