Pembuatan kain tenun ternilai lebih ramah lingkungan karena minim limbah dan menggunakan bahan pewarna alami. Namun, seiring perkembangan zaman, kain tenun juga ada yang terbuat dari pewarnaan zat kimia.
Dari sisi ketahanan, kain tenun dengan pewarna alami lebih awet bahkan bisa tetap terpakai sampai ratusan tahun. Tak heran, kain tenun dengan pewarna kimia justru seringkali menggunakan pewarna alami untuk memikat pembeli.
“Sekarang banyak kain tenun dengan pewarna kimia tapi diklaim warna alam,” kata desaiter Oerip Indonesia Dian Oerip ditemui di Indonesia Fashion Week di Jakarta Convention Center, Minggu (17/4/2022).
Menurut Dian, kain tenun dengan pewarna alam dan kimia sebenarnya bisa dibedakan secara kasat mata. Bagi desainer yang biasa menggunakan kain tenun bisa dengan mudah membedakannya.
![Kain Tenun [Risna/Truestory, Scout.ID]](https://www.scout.id/wp-content/uploads/2022/04/Bisa-Terlihat-Secara-Kasat-Mata-Ini-Cara-Gampang-Bedakan-Kain.jpg)
“Kalau pewarna alami, warnanya lebih soft. Sedangkan pewarna kimia, dari benang sudah terlihat warna terang mencolok, seperti pink mencolok. Kalau pemain kain pasti tahu perbedaannya. kalau pemakai baru, lama-lama juga bisa tahu,” tuturnya.
Sebagai desainer, Dian sering bepergiaan ke berbagai daerah untuk mencari kain tenun yang dibuat secara alami oleh penenun masyarakat pedalaman. Menurut Dian, kain tenun yang telah berusia rarusan tahun bukan hanya menarik dari daya tahannya. Tapi juga warna dan motifnya yang unik dan langka.
“Saya pemburu kain tua, itu tidak bisa ditenun oleh penenun zaman sekarang, mulai dari warna, motif,” ujarnya.
Selama pandemi Covid-19, Dian merasa minat masyarakat terhadap kain tenun justru meningkat. Ia mengaku perlu meningkatkan produksi karena pemesanan yang melonjak hingga tiga kali lipat.
“Selama 13 tahun saya ada di industri kain tenun, ini tertinggi selama berkarya. Kalau dulu produksi sehari 30 kali, saat pandemi bisa sampai 90,” pungkasnya.