Gunung bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk dipelajari dan disyukuri keindahannya.
Taman nasional legendaris ini menjadi primadona pendakian dan konservasi di Jawa Barat. Gunung Gede dan Pangrango menyatu dalam satu kawasan yang dikenal sebagai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), menyuguhkan lanskap memukau, udara sejuk, dan keanekaragaman hayati yang luar biasa.
Secara geografis, taman nasional ini berada di koordinat 106°51’–107°02′ BT dan 6°41’–6°51′ LS. Gunung Gede sendiri merupakan stratovolcano aktif bertipe A yang masih menunjukkan jejak vulkanik hingga kini.
Ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 1980, kawasan ini memiliki luas 21.975 hektare (data 2003). Gunung Gede–Pangrango juga masuk dalam jaringan Cagar Alam Biosfer UNESCO sejak 1978, menjadikannya salah satu kawasan konservasi paling penting di Indonesia.
“Lebih dari 200 jenis burung, termasuk yang endemik dan langka, ditemukan di sini,” ungkap Harley Bayu Sastha dalam bukunya Sekilas Jawa Barat. Mamalia besar seperti macan tutul dan surili juga menjadikan tempat ini rumah mereka.
Suhu rata-rata kawasan ini berkisar antara 10°C hingga 18°C. Namun, di lembah Alun-alun Suryakencana atau Mandalawangi, suhu bisa turun di bawah 5°C. Tak heran, banyak pendaki yang menyebut jalur menuju puncak Gunung Gede sebagai petualangan yang menyegarkan jiwa dan raga.
Aktivitas vulkanik Gunung Gede tercatat pertama kali terjadi pada 1747/1748. Letusan lain terjadi pada 1761, 1780, dan 1832. Letusan besar terjadi pada 12 November 1840, dan yang terbesar tercatat pada 11 Desember 1840. Aktivitas terakhir terdata pada tahun 1957.
Dengan curah hujan tinggi (lebih dari 200 mm/bulan), terutama antara Desember hingga Maret, kawasan ini juga menjadi laboratorium alam yang penting. Dari keindahan alam hingga nilai edukatif, TNGP terus dikembangkan lewat program ekowisata pemerintah, tanpa mengurangi nilai konservasinya.
Gunung Gede–Pangrango bukan hanya destinasi bagi pendaki, tapi juga tempat belajar tentang keragaman hayati dan pentingnya menjaga alam.